Selasa, 05 Desember 2017

Standar seorang bisa dinamakan ulama

Di antara orang terakhir yang mendapatkan gelar 'al-'Allamah' di Damaskus ada 4 orang. Yakni Syaikh Hasan Habannakeh, Syaikh Zainal Abidin at-Tunisi (adik dari Syaikh Khidr Husein), Syaikh Bahjat Baitar, dan satu lagi aku lupa namanya. Itu terjadi di tahun '60-an. Perlu diingat, Damaskus saat itu menjadi salah satu ibukota keilmuan islam dunia

Nama beken sekelas Syaikh Salih Farfur, Syaikh Abdul Karim Rifai, dan ratusan ulama lain di level mereka tidak mendapatkan gelar tersebut, bukan karena mereka tidak alim, tapi level 'al-allamah' (ulama besar) yang berhak memakai 'surban putih dan ikat pinggang' bukan level sembarangan. Hanya 4 orang dari generasi emas ulama saat itu, dan para ulama lain pun tidak cemburu, karena ada standar yang tertulis untuk mencapai level itu.

Apa standarnya? Yaitu menguasai 12 cabang ilmu, memahaminya, mengaplikasikannya serta mengetahui dan menghapal seluruh dalilnya. Kemudian mempertahankan dalilnya dari kritikan (an-nudhar). Saat tahap itu telah dicapai maka mereka akan diberi gelar al-'allamah oleh ulama yang telah mencapai tahap itu terlebih dahulu.

Sedangkan bagi yang baru mencapai tahap menghapal dan menguasai 12 cabang ilmu, namun hanya satu cabang ilmu saja yang dikuasai dan dihapal setiap detail dalilnya, serta bisa mempertahankannya dari kritikan (an-nudhar), maka mereka dijuluki 'alim saja. Seperti sebutan faqih (dalam fiqih), ushuly (dalam ushul fiqh), adib (bahasa arab), muarikh (dalam sejarah dan sirah), mutakalim (dalam aqidah dan mantiq), muhadis (dalam hadis), mufasir (dalam tafsir), dan qura (dalam ilmu qiraat).

Level di bawah itu dinamakan al-ustadz, yakni mereka yang berhasil menguasai dan menghafal 12 cabang ilmu dan mengaplikasikannya tapi tidak mengapal seluruh dalil dan istinbatnya dengan detail. Intinya belum mencapai tahap an-nudhar. Tapi untuk mencapai level ini saja butuh waktu belasan tahun.

Di bawah itu dinamakan thalib (santri), sedangkan yang belajar satu cabang ilmu secara mendasar disebut mustaqaf (mempunyai wawasan), sedangkan orang biasa disebut awam.

Inilah standar ulama dahulu, makanya Syaikh Hasan Habannakeh ketika ada orang memuji terlalu berlebihan jika ada murid yang cerdas dengan kata "Masyaallah dia seorang alim," beliau menyela "Cukup katakan; thalib yang berbakat," bukan karena tidak mau memuji, tapi beliau sedang mengajari kita untuk menaruh sesuatu pada tempatnya, karena semua gelar itu sudah jelas standarnya.
Otak cerdas atau pintar ngomong saja tidak cukup, bahkan punya wawasan dan bacaan banyak juga tidak cukup untuk dikatakan alim. Tentu ulama melakukan standarisasi ini agar tidak ada orang 'berbaju ulama' yang menipu umat. Kalau tidak, lama kelamaan kepercayaan umat pada ulama akan hilang, karena 'penipu berjubah ulama' menyampaikan agama tidak sebagaimana mestinya
sebab kekurangan ilmu.

Gelar-gelar ini tidak hanya milik ulama Damaskus, tapi ada dimana-mana, seperti di Al-Azhar, madrasah Hijaz, dan lain-lain. Sayangnya sejak gelar ini mulai dikikis dengan munculnya gelar baru seperti profesor, doktor, master, license, dan semacamnya, standarisasi keilmuan semakin tidak jelas. Belum lagi kasus jual ijazah, masyarakat mulai tertipu dengan standar baru yang bisa didapatkan bahkan jika kita belajar Islam pada nonmuslim.

Bahkan ada yang modal semangat dan cukup pinter ngomong lalu memakai jubah dipanggil ustaz, belum lagi candaan panggilan ustaz yang membuat gelar al-ustaz jadi bahan obral. Lalu apa yang terjadi? Yang terjadi adalah apa yang kita lihat hari ini, umat bingung, ustad beneran jadi tidak dipercaya gara-gara ulama jadi-jadian bermodal taplak meja (yang dijadikan sorban -red). Bahkan tak jarang sebagian umat lebih mengidolakan orang yang tak ada sangkut paut dengan keilmuan, karena logika mereka jauh lebih memuaskan dibandingkan dalil dari ulama gadungan. Tapi ingat keduanya tidak mewakili keilmuan islam.

Saat haji kemarin, aku sempat bertamu dan berjumpa dengan beberapa ulama Hijaz seperti Habib Zain Sumaith, Sayyid Ahmad Salih Ruqaimy, Abuya Sayyid Ahmad al-Maliki, Sayyid Nabil al-Ghamry, Habib Umar al-Jailany, Habib Umar bin Hafidz dan lain-lain. Selain untuk menyampaikan titipan dari guruku di Damaskus, juga mengambil barakah, doa dan ijazah dari mereka.

Kawanku yang di Mekah, alumni Madrasah Saulatiyah yang membantuku memberi alamat mereka di Mekah memberitahu bahwa di antara mereka ada yang bergelar mufti. Yakni gelar bagi orang yang bertanggung jawab dan berhak untuk memberitahukan hukum Allah pada umat. Aku bertanya dengan agak heran, "Kok banyak banget mufti? Ini ditunjuk oleh kerajaan?" Dia jawab, "Nggak lah, 'kan kamu udah belajar fiqh dan ushul fiqh. Di sana ada syarat-syaratnya." Aku mulai kegirangan, lalu aku bertanya, "Abuya Sayyid Ahmad al-Maliki termasuk mufti nggak?" Dia menjawab, "Beliau memang alim tapi belum mencapai taraf mufti"

Aku mulai gembira, bukan karena Abuya tidak menjadi mufti, tapi karena orang selevel Abuya dan punya nama besar saja belum mencapai derajat itu. Berarti ada standar tinggi di sini, lalu aku melanjutkan pertanyaan yang sebenarnya aku sudah tahu jawabannya, "Jjadi siapa yang menentukan seseorang mufti atau bukan?" Dia menjawab, "Ya mufti-mufti sebelumnya."

Betapa aku kegirangan. Mimpiku selama ini seperti jadi kenyataan, gelar mufti seperti dulu masih ada, bukan mufti yang ditunjuk pemerintah karena alasan politis. Dan ulama Hijaz masih memakai itu.

Aku sangat menginginkan standarisasi ulama itu ada di seluruh dunia, apalagi di Indonesia. Di mana semua orang jadi ustadz, dan semua orang jadi kiai. Modal ganteng, pandai ngomong, bahkan yang nyeleneh dan tidak jelas siapa gurunya pun dianggap kiai. Paling gila, modal surban dan maulidan sudah menjadi al-ustadz, fatwa nyeleneh bin aneh bin membingungkan tersebar pada umat. Belum lagi umat di Indonesia yang mudah heboh, akhirnya terjadilah apa yang terjadi; rasa hormat pada ulama hilang.

Ada orang modal akun facebook pakai surban jadi ustadz bahkan berani menyesatkan ulama yang belajar puluhan tahun. Umat bingung mau ikut siapa. Bayangkan, di Indonesia orang sepertiku saja ada yang manggil ustadz? Entah bagaimana masa depan Islam nantinya. dan sepertinya memang sudah saatnya kita kembali lagi ke masa dimana siapa ulama dan bukan ada standarnya. Sehingga kita tau kemana kita harus merujuk untuk bertanya tentang agama kita secara benar dan tidak membingungkan. Hijaz sudah ada, Indonesia kapan?

Senin, 04 Desember 2017

*Dialog Ustadz dan santri (5)*
*Menghadapi musuh manusia*

Santri     : Ustdz gmn saya akan mengalahkan syetan musuh saya, syetan bisa melihat saya sedang saya tidak, saya istirahat syetan tidak istirahat bergantian menungguku lengahku, syetan berjumlah banyak sedang saya sendiri. Bagaimana saya mengalahkannya Pak Ustdz?

Ustadz     : Nak jika kamu dikejar kawanan anjing maka apa yang kamu lakukan?
Santri     : saya akan lari kencang pak ustadz
Ustadz     : Pasti kamu akan kalah terkejar sebab anjing lebih cepat larinya
Santri    : Saya akan lawan pakai kayu atau pentungan tadz
Ustadz    : Kamu pasti akan kalah juga sebab mereka berjumlah banyak, jika kamu pukul yang satu yang lain pasti menyeraangmu dari arah yang lain
Santri    : Trus bagaimana tadz? (sambil menunduk pasrah)
Ustadz    : Jika kau lawan dengan tenagamu bagaimanapun kamu akan kalah. Namun jika kamu mengenal pemilik anjing itu dan engkau memanggilnya dan meminta mengendalikan anjing itu maka anjing itu pasti akan tunduk tidak menyerangmu.
Santri    : Saya sudah paham pak ustadz
Ustadz    : Paham apa Nak?
Santri    : Untuk mengalahkan syetan tiada jalan lain kecuali kita mendekat pada Allah, selalu memanggil Allah dan minta pertolonganNya saat menghadapi syetan.
Ustadz    : Siiip
Itulah maksud dari ayat :
QS. Al-'A`raf [7] : 200
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah

*Saudaraku*
_Saat musibah datang, jangan hanya kau pikirkan besarnya musibah namun ingatlah pula bahwa  Allah yang maha perkasa mampu untuk menghilangkan musibah itu_

*Saudaraku*
_Jangan kau lihat besarnya musuh, banyaknya bala tentaranya, lengkapnya persenjatannya. Ingatlah Allah juga maha perkasa mengalahkan musuh-musuhnya_


ustadz: ada apa dik kok nampak sedih sekali
Santri : Saya ada banyak masalah ustadz
ustadz: masalah apa dik jika boleh tau?
santri: Banyak ustadz, masalah seperti datang silih berganti  dari masalah sendiri, dari teman hingga masalah keluarga dll. bagamana ya ustadz biar ada solusi dari setiap masalah?
Ustadz: Dik setiap yang hidup pasti ada ujian dgn masalah2 yang datang, emang  dunia ini tempat ujian bagi manusia maka sesungguhnya bukan ujian yang menjadi masalah tapi penyikapan kita menghadapi ujian tersebut. ada beberapa hal agar kita segera mendapat solusi : pertama : tetap berpikiran positip ada hikmah dibalik ujian itu, ada yang manis dibalik kepahitan, ada kemudahan dibalik kesusahan. kedua evaluasi diri adakalanya ujian itu datang sbb kesalahan kita sehingga allah ingin menegur kita sehingga kembali ke jalan sebenarnya, ketiga jangan fokus pada ujian tapi solusi seperti saat anda naik sebuah mobil didepan banyak sekali lobang yang becek mk jangan fikir lobangnya fikirkan hal positif cari jalan yang bisa dilewati. Gimana paham?
santri: Paham, tapi seringnya masalah yang lalu itu menjadi penghalang kita untuk maju penuh optimis ustadz.
ustadz: jadikan masa lalu seperti spion mobil bolehlah kita melihat ke belakang lewat spion tsb tapi jangan keterusan bisa nambrak mobil kita. ambil hikmah dari kesalahan masa lalu, pelajaran untuk perbaiki masa depan. jika punggungmu masih terbebani bagaimana kau akan lulus menghadapi ujian hidup ini.
Surah Al-Mulk,  2
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,”

Surah Al-Inshirah,  Verse 6:
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
#Zain for Kajian TQ


Santri : Assalamualaikum, Ustadz apa boleh tanya lagi?

ustadz : wa’alaikumsalam wr. wb. boleh silakan,
santri : Pernahkah ustadz jatuh cinta?
Ustadz : kalau iya kenapa? kalau tidak kenapa?
santri : tidak ada apa-apa ustadz jika pernah bearti tapat menjawab pertanyaan saya ini
ustadz : memangnya pertanyaanmu apa dik?

Santri : Ustadz jika yang berhak di cintai itu Allah, cinta hakiki itu cinta Allah dan rasulNya. mengapa Allah menanamkan rasa cinta pula kepada manusia lain, pasangan, keluarga atau bahkan cinta harta?

ustadz : dik pean punya buah kesukaan atau makanan faforit?
santri : ada ustadz.  saya suka sekali sama opor ayam yang masak dengan santan yang ketal gurih ditambah krupuk saat makan untuk buahnya suka anggur merah yang besar2 tadz. knp ustad. apa mentraktir saya?

ustadz : bukan mau mentraktir dik tapi ini ada kaitannya dengan pertanyaanmu. apa tiap hari adik makan kesukaanmu tadi? adakah setiap kau harapkan selalu kau dapatkan?

santri : ya tidak ustadz opor ayam ya saat hari raya saja jika anggur merah juga saat kakak saya dari Jakarta datang berkunjung ke pondok

ustadz : Dik kita boleh menyukai, mencintai atau faforit pada sesuatu tapi kita harus sadar hal itu belum tentu akan kau dapatkan selalu, jika kau dapatkan dia, kau juga akan tinggalkannya dan ingat kenikmatan apapun didunia ini adalah gambaran kecil atau DP dari Allah akan nikmat yang abadi di akhirat. Termasuk buah anggur, rasa cinta dan rindu yang kau rasakan sebagai gambaran kecil dari nikmat abadi di akhirat, oleh karnanya Cintai Allah diatas segalanya agar kenikmatan kita di dunia ini disempurnakan dengan kenikmatan abadi di akhirat. sebagaimana firmaNya

Surah Al-Baqarah, Verse 25:
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِن ثَمَرَةٍ رِّزْقًا قَالُوا هَٰذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِن قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

_Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu". Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya._

santri : Trus apa tidak boleh kita mencintai dan dicintai seseorang ustadz?

Ustadz : Boleh selama adik tetap dalam rambu-rambu yang Allah tentukan jika dengan Cinta itu adik melanggar syariat Allah, mementingkan cinta manusia melebihi mengikuti cinta dan aturan Allah maka itu yang tidak boleh. jika hal itu terjadi segera jauhi, jauhi, jauhi karna Allah SWT. Gmn paham?

santri : Paham ustadz, trus nasib cinta ustadz gmn?
Ustadz : Ssssst jangan rame-rame nnt didenger ustdzah

#Kajian TQ

Santri : Ustadz boleh nanya ya?

Ustadz : Boleh, silakan

Santri : Mohon maaf sebelumnya Ustadz mungkin agak ganjil pertanyaan saya ini. Allah itukan maha dekat tapi kok manusia kok ga bisa melihat ya! gimana itu pas ustadz?

ustadz : adik punya jantung?, santri : Punya ustadz, Ustadz : adik bisa melihat ga jantunya nya? santri : Tidak Ustadz

ustadz : kita punya jantung tapi kita tidak bisa melihatnya, kita punya jiwa yang bisa tersakiti, sedih dan gembira tapi kita tidak bisa melihat jiwa kita. bahkan kita terkadang buang angin tapi kita juga tidak bisa melihatnya.

santri : maksudnya ustadz

Ustadz : maksudnya tidak semua yang ADA belum tentu bisa kita lihat, bukan karna tidak ada dzatnya tapi diri kita yang terbatas untuk melihatnya tapi yang tidak ada itu bisa kita rasakan. Jantung bisa kau rasakan dengan irama detakannya, bau anginmu bisa kau rasakan dgn hidungmu. jadi Allah tidak bisa bisa kita lihat dengan dua mata kita tapi keberadaanya bisa kita rasakan dgn hati kita.

Saat kau bisa bernafas, menghirup udara dan melepaskannya rasakan keberadaan Allah atas nikmatNya, saat kau dipagi hari bisa melihat dan merasakan sinar pagi hari rasakan keberadaan Allah atas anugrahNya, saat kau bahagia bersama keluarga  rasakan kasih sayangNya, saat kau memandang langit dimalam hari yang penuh dengan cahaya bintang rasakan luasnya kekuasaanNya, saat kau bisa menikmati iman dan islam rasakan akan CintaNya, saat kau bangun tidur, beraktifitas, pergi bekerja, kembali bersama keluarga, lalu istirahat dgn nyeyak coba rasakan perhatianNya. Paham ?

santri : Paham Ustadz. Bisakah nanti orang beriman melihat Allah ustadz?

ustadz : Bisa. Tiada kenikmatan yang lebih Indah bagi orang beriman melebihi nikmat Indahnya bertemu dgn Allah melebihi Indahnya kau melihat dan bertemu kekasihmu dan kita bisa melihatNya dengan jelas di Surga Allah nanti. sebagai mana FirmanNya

Surah Al-Qiyamah Verse 22:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ
_Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri._
Verse 23:
إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
_Kepada Tuhannyalah mereka melihat._

Maksudnya, wajah orang beriman akan tampak cemerlang, cerah atau berseri-seri karena melihat wajah Allah Ta’ala secara langsung.

Santri : oke terimkasih ustadz


Santri : Assalamualaikum wr. wb, apa boleh saya bertanya ustadz?

Ustadz : waalaikumsalam, boleh dik. tanya apa?

santri : saya mau bertanya tentang Cinta pada Allah. Cinta pada Allah itu hukumnya bagaimana ustadz?

Ustadz : Cinta pada Allah bagi orang beriman itu wajib dan hanya Allahlah yang patut di cintai dengan sepenuh hati, sebab cinta padaNya akan kekal abadi, kematian malah akan mempertemuka seseorang pada Allah yang dicintai, “Tidak sempurna iman kalian sehingga dia mencintai Allah melebihi apapun yang dia cinta didunia ini” ini pesan nabi kita Muhammad SAW.

santri : Kalau cinta pada manusianya kan ada getaran cintanya, lha trus cinta pada Allah itu seperti apa ustadz? mohon penjelasannya?

Ustadz : Adik, cinta itu tidak harus ada perasaan asmara sebagaimana cinta pada orang tua, ulama’ dan saudara seiman, Cinta pada Allah dilandasi dengan akal buka perasaan semata. Renungkanlah  betapa Allah sudah menganugrahkan banyak nikmat padaMu, nikmat sehat, nikmat iman, nikmat udara, nikmat makan minum dsb. lihatlah disekelilingmu betapa banyak orang-orang yang lebih menderita tidak mendapatkan apa yang kau dapatkan, dan Allah telah menunjukan hidayah Islam padamu, dgnnya kamu mengenal Islam, mengenal rasul, mengenal akhirat, dengannya Allah menuntuntmu menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. bukankah Allah sangat perhatian padamu. bukankah Allah layak dicintai dari pada yang lainnya didunia ini.

santri : Bagaimana cara kita mencintai Allah ustadz?

Ustadz : Pertanyaanmu bagus dik, jangan kau hiraukan perasaan cintamu sudah ada atau belum ada. yang penting hatimu, akalmu, kefahamanmu sudah sudah meyakini Allah yang patut di di Cintai lalu buktikan. Cinta tidak janji dan perasaan semata tapi bukti. Buktikan cintamu dengan mengikuti perintah Allah, menjauhi laranganNya, jangan kau langgar ketetapan2 Allah, jangan kau korbankan Cinta Allah sebab cinta dunia dan yang penting ikuti teladan kita Rasulallah SAW

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31)
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (32) آل عمران

Allah berkalam, “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”